Pendidikan Di Masa Pandemi, Pendidikan Berbasis Empati

Pendidikan Di Masa Pandemi, Pendidikan Berbasis Empati

Oleh: Dewi Aryanti, S.Pd., M.Pd
Guru IPS MTsN 10 Tasikmalaya

Mengajar bukanlah profesi, tetapi mengajar adalah hobi
Aku mendapatkan sebuah kesimpulan yang menakutkan
Bahwa aku adalah unsur penentu di dalam kelas
Pendekatan pribadikukulah yang menciptakan iklimnya dan
Suasana hatikulah yang membuat cuacanya
Sebagai seorang guru, aku memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membuat hidup seseorang menjadi menderita atau gembira
Aku bisa menjadi alat penyiksa atau pemberi ilham
Bisa bercanda atau mempermalukan, melukai atau menyembuhkan
Dalam semua situasi, reaksikulah yang menentukan
Apakah sebuah masalah akan memuncak atau mereda
Dan apakah seseorang akan diperlakukan sebagai manusia atau direndahkan
(Haim Ginott dalam Guru juga Manusia, 2012:13)

Goncangan dahsyat pandemi covid 19 yang melanda bumi, menghentakkan seluruh makhluk negeri. Hampir semua lini berubah kondisi dan posisi. Tak terbayang semua kenyataan ini akan terjadi. Covid 19 merubah tatanan kehidupan yang selama ini bergulir, politik, ekonomi, social, budaya dan terutama bidang pendidikan. Proses pembelajaran yang baku selama ini berada pada suatu tempat ruang kelas dengan guru dan siswa yang berinteraksi langsung di dalamnya seketika berubah. Tempat bukan lagi di ruang kelas melainkan dapat di ruang manapun, di rumah, di kamar mungkin juga di taman dapat dijadikan ruang kelas. Guru dan siswa tak lagi berkontak social secara primer yang dapat bertatapan dan berhadapan secara langsung melainkan melakukan kontak social secara sekunder yakni melakukan interaksi dengan menggunakan perantara berupa handphone maupun laptop. Kondisi pembelajaran seperti ini tentu harus banyak penyesuaian dan disesuaikan baik bagi guru maupun siswa.

Kutipan puisi diatas menyadarkan betapa pentingnya peranan sebagai seorang guru. Apalagi dalam situasi pandemic seperti ini, seorang guru dapat berperan dalam peningkatan imunitas tubuh siswanya atau malah membuat drop imun tubuh siswanya. Salah satu sikap yang sangat penting ialah adanya rasa empati terhadap kondisi siswa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, empati dimaknai sebagai keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan, perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Seorang guru dituntut untuk dapat mengerti dan merasakan posisi seorang siswa pada kondisi saat ini, posisi di mana ketika jelek jaringan, jenuh dengan keadaan atau bahkan adanya tekanan orangtua ketika pembelajaran. Kegiatan mengajar merupakan sebuah kegiatan mensinergikan intelektual, mental dan emosional yang diolah sedemikian rupa hingga menjadi tindakan yang mudah dimengerti dan menyenangkan bagi siswa – siswanya. Ketika mengajar dapat mentransformasi energi – energi jelek sekitar menjadi energi positif yang menggembirakan berupa pembelajaran dengan metode/media yang menarik, motivasi yang membangun atau nasihat -nasihat yang menyejukan hati. Sehingga imunitas tubuh siswa dapat terjaga dan terbangun. Peran guru di sini begitu sentral dan harus dilakukan dengan penuh totalitas tidak bisa dilakukan sebelah mata apalagi sebelah tangan. Al Ghazali menyebutkan tentang tingkatan guru. Menurutnya terdapat 5 tingkatan guru:
Mudarris, yang berarti tingkatan guru yang hanya sekedar mengajar, dia hanya melakukan transfer ilmu tanpa ada upaya peserta didik faham atau tidak, guru ini hanya menyampaikan.
Mu’allim yang berarti guru bertindak mengajari peserta didik dari yang ilmu-ilmu yang asalnya mereka belum tahu menjadi tahu.
Muadzdzib, guru dalam tingkatan ini tidak hanya mentransfer ilmu-ilmu/pengetahuan yang bersifat kognitif saja tapi juga sampai kepada perubahan kepada peserta didik yang asalnya tidak memiliki etika menjadi beretika, asalnya tidak memiliki sopan santun menjadi santun.
Murobbi, yang berarti guru bertindak sebagai pendidik tidak hanya membuat peserta didik mempunyai etika tapi juga menjadi pengayom, pembimbing yang menaungi siswa-siswinya.
Mursyid, tingkatan ini merupakan tingkatan guru tertinggi dimana guru bisa menjadi petunjuk bagi siswa-siswinya, dan tingkatan guru seperti ini sangat dibutuhkan oleh semua manusia.
Kelima sebutan tersebut bila disandangkan pada guru tentu hanya menginginkan sebutan mursyid yang keberadaannya diharapkan dan di tunggu – tunggu siswanya karena kangen dengan sosok yang memberikan motivasi dan inspirasi serta nasehat ilmu pengetahuannya.. Tahapan mursyid tentu bukan hanya sekedar angan dan ucapan belaka tapi harus terlaksana mengingat kondisi darurat pendidikan saat ini. Menjadi seorang mursyid harus ada upaya disamping kompetensi – kompetensi yang harus dimiliki dan yang tak boleh dilupakan ialah ruh dari pendidikan itu sendiri yakni rasa ikhlas tanpa pamrih dalam mengajar dan menyadari bahwa menjadi seorang guru pada hakikatnya ialah amanah yang telah Alloh berikan yang tentu akan dimintai pertanggungjawaban langsung di hadapanNYA. Saya menjadi teringat ungkapkan Prof. Dadang Suhardan, M.Pd seorang dosen dan tokoh pendidikan dalam kuliahnya (15/3/2015) yang mengatakan bahwa guru merupakan singkatan. Singkatan dari kata:
G = Gambaran sosok pribadi beriman dan bertaqwa yang gemar membaca dan menulis
untuk mengembangkan kemampuannya
U = Ucapannya mengubah perilaku peserta didik
R = Ramah, santun arif, bijaksana dalam memberi pelayanan belajar
U = Unsur utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa
Semoga singkatan tersebut dapat menjadi motivasi dan do’a dalam menghadapi pandemi yang terjadi. Sinergitas berbagai pihak tentu sangat diperlukan demi keberlangsungan pendidikan yang dibungkus dalam kemasan pembelajaran. Bukan hanya empati seorang pendidik tetapi juga lingkungan yang menarik yang mengarahkan pada situasi dan kondisi siswa untuk menjadi insan paripurna (good citizenship). Whatever, However. Insya Alloh

Sumber :
Penulis : Dewi Aryanti, S.Pd., M.Pd.
Editor :

https://bdkbandung.kemenag.go.id/berita/pendidikan-di-masa-pandemi-pendidikan-berbasis-empati

Post a Comment

أحدث أقدم