PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter pertama kali diperkenalkan sebagai satu kurikulum ke dalam sekolah-sekolah sekitar satu abad dan bertahan untuk beberapa decade berikutnya. Gelombang-gelombang imigrasi di masa itu mengkhawatirkan banyak orang-orang Amerika yang telah menetap yang takut akan adanya perilaku amoral dan pelanggaran hokum dari para gerombolan pendatang. Pendidikan moral di sekolah-sekolah merupakan satu cara untuk membantu mencegah aksi pencurian dan pengrusakan dengan menanamkan nilai-nilai moral selagi anak-anak masih kecil. Pendidikan semacam itu juga dilhat sebagai satu benteng untuk melawan peningkatan sekulerisme dari masyarakat Amerika sebagai sebuah konsekuensi dari pertumbuhan industrialisasi dan urbanisasi. Setelah perang dunia pertama, tuntutan-tuntutan akan perlunya pendidikan karakter itu berkurang. Untuk satu hal, imigrasi dibatasi secara besar-besaran sehingga kecemasan akan hal itu berkurang. Selain itu, ilmu sosial yang muncul baru-baru ini mencoba untuk menjauhkan diri dari agama, dianggap sebagai tidak keilmuwan. Sebagai contoh, Gordon Allport (1927) di Harvard berpendapat bahwa personality (sebuah system dari sifat-sifat yang dapat diukur) bukan sebuah karakter (satu system dari nilai-nilai yang tidak dapat diukur) merupakan subjek yang tepat untuk investigasi psikologis dan, dengan penambahan, untuk pemikiran-pemikiran kependidikan. Titik penolakan perang dunia pertama tentang pendidikan moral dibantu dan didukung oleh penelitian Hartshorne dan May (1928-1930) di akhir tahun 1920an yang menggambarkan bahwa pendidikan moral tidak dikaitkan dengan perilaku moral anak-anak. Akhirnya bukti yang berkembang dari rasisme yang mematikan dan anti semitisme terhadap NAZI di Jerman, dan dukungan kuatnya in negara ini (seperti, Henry Ford dan Father Cauglin), memposisikan perhatian kepada moralitas menjadi satu topic yang sangat sensitif. Untuk semua alasan-alasan tersebut dan mungkin untuk alasan-alasan lain, pendidikan moral adalah segalanya namun mati di sekolah-sekolah kita di tahun 1960an. Kejadian-kejadian di tahun 1960an – Perang Vietnam, Pergerakan Hak Sipil, Pergerakan Wanita, dan Watergate – sekali lagi seluruhnya berfungsi dalam meningkatkan tingkatan moral kita. Hal yang lebih panas lagi dihasilkan dari ilmu sosial dengan penelitian psikologi oleh Lawrence Kohlberg (1975) yang menjelaskan dan memperluas kajian-kajian dari Piaget tentang perkembangan moral untuk melibatkan moralitas yang lebih luas untuk orang dewasa. Waktunya itu kebetulan karena kesadaran sosial, pendidikan, dan ketidakadilan ekonomi yang semakin meninggi di masyarakat kita. Karya dari Kohlberg ini secara luas disebarkan dan menjadi bahan bacaan yang wajib dalam buku teks psikologis dan psikologi pendidikan dan dasar untuk penelitian baru dalam perkembangan moral, sama halnya dengan program-program baru dalam pendidikan moral dan “klarifikasi nilai-nilai” dalam sekolah-sekolah kita. Meskipun inisiatif-inisiatif pendidikan moral yang baru secara luas dihasutkan oleh konflik-konflik moral dan nilai di tahun 1960an, inisiatif-inisiatif tersebut dibantu dan didukung oleh perubahan-perubahan sosial lainnya. Dengan pergerakan wanita dalam tenaga kerja, nilai perceraian yang meningkat, dan meningkatnya jumlah single parent, para orang tua hanya mempunyai waktu yang sedikit untuk memberikan contoh moral dan nilai-nilai di rumah. Program-program pendidikan karakter, yang diperkenalkan untuk mengatasi ketidakadilan sosial yang dibawa secara kasar ke permukaan di tahun 1960an, sekarang ini telah disesuaikan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh penurunan yang semakin membesar dari latihan moral di rumah. Apa yang memulai sebagai sebuah reaksi pada krisis-krisis sosial dilanjutkan sebagai satu obat untuk perubahan-perubahan di keluarga. Sekarang ini, sekolah-sekolah diharapkan untuk menggantikan peranan orang tua yang hilang sebagai pemberi nilai-nilai moral dan kebajikan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama